*

*

Ads

Senin, 07 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 097

“Kakek yang baik, lihat padaku! Aku bukan musuhmu, aku adalah sahabat baikmu! Lihatlah, kita adalah sahabat baik, bukan? Aku sahabatmu dan kita tidak seharusnya berkelahi atau bermusuhan!” Di dalam kata-katanya itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat.

Kakek itu nampak tertegun, lalu mendengus seperti seekor lembu marah, dan membentak,

“Aku tidak mempunyai sahabat macam engkau!”

Hay Hay terkejut. Kekuatan sihir yang dipergunakannya tadi amat kuat karena dia mengerahkan tenaga batin. Andaikata kakek ini memiliki pertahanan batin yang bagaimana kuatpun, tentu akan dapat ditembus! Akan tetapi, kakek itu kelihatan tidak apa-apa dan enak saja membantah kata-katanya!

“Locianpwe, lihat baik-baik, siapakah aku ini?”

“Engkau seorang manusia yang kejam melebihi ular dan harimau!”

“Engkau keliru, aku adalah cucumu sendiri!”

“Bohong, aku tidak punya Cucu!”

“Aku adalah puteramu!”

“Omong kosong, aku tidak punya anak!”

Celaka, pikir Hay Hay. Dia yakin bahwa siapa saja kalau dihadapinya dengan sihir ini, tentu takluk dan membenarkan semua kata-katanya. Akan tetapi kakek gila ini menyangkal semua ucapannya dan ini hanya berarti bahwa kakek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya.

Demikian kuatkah kakek ini, ataukah kekuatan sihirnya sendiri yang sudah melempem? Dia teringat bahwa kakek ini agaknya pembenci manusia dan pencinta binatang, maka kini dia menambah kekuatan pada pandang mata dan suaranya, lalu berseru dengan suara menggetar penuh kekuatan sihir.

“Locianpwe, lihat baik-baik, aku adalah seekor kelinci!”

Dia teringat betapa kakek itu melindungi kelinci-kelinci dan nampak amat sayang kepada binatang itu.

“Ha-ha-ha, engkau yang buruk ini mana bisa dibandingkan dengan kelinci yang bersih, manis dan mungil? Jangan mengacau!”

“Kakek aku adalah seekor harimau, lihat baik-baik!”

“Ho-ho, tak perlu membadut. Engkau yang lemah ini mana patut menjadi harimau yang gagah perkasa?”

Sialan, pikir Hay Hay. Kakek ini kebal terhadap serangan sihir, atau memang kekuatan sihirnya yang sudah melempem. Tidak ada jalan lain kecuali lari secepat mungkin meninggalkan kakek gila itu, atau kalau tidak agaknya dia harus merkelahi mati-matian melawan kakek yang benar sakti luar biasa ini.

Dia memilih yang pertama dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik sambil mengerahkan ilmu sihirnyanya. Dimata orang lain, tentu dia akan lenyap menjadi asap, dan diapun tidak peduli lagi apa pengaruh sihirnya terhadap kakek gila, melainkan cepat mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu berlari cepat untuk meninggalkan tempat itu.

Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari tiga orang sakti yang menggemblengnya penuh ketekunan disamping bakatnya sendiri memang besar sekali. Jarang ada orang akan mampu mengejarnya, maka setelah berlari cepat kurang lebih seperempat jam dia telah berada jauh sekali, mendaki bukit yang dipenuhi hutan.

Karena sejak tadi mengerahkan tenaga, Hay Hay merasa lelah dan tubuhnya berkeringat, maka ketika melihat sebuah batu hitam menggeletak di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan teduh, diapun menghampiri batu itu dan duduk menjatuhkan diri.

“Aaaahhhh ……!!”






Dia menarik napas panjang dan lega. Enak sekali rasanya beristirahat di tempat teduh itu setelah berlari-lari seperti dikejar setan tadi.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba batu yang diduduki itu bergerak dan terdengar suara dari batu itu,

“Hemm, engkau baru datang. Sampai mengantuk aku menunggu kedatanganmu. Mari kita lanjutkan perkelahian kita!”

Hay Hay meloncat sampai lima meter jauhnya dari batu itu dan ketika dia memandang, ternyata batu itu bukan lain adalah kakek gila tadi yang duduk bersila di situ! Tengkuknya meremang! Sukar dipercaya bahwa dia bertemu dengan seorang manusia begini sakti! Dia mengerti sekarang bahwa dalam hal ilmu sihir dan ilmu berlari cepat, dia kalah jauh. Bukan saja kakek itu telah dapat mendahuluinya, bahkan kakek itu dapat mengubah diri menjadi batu sehingga dia dapat dikelabuhi. Ini juga merupakan semacam sihir atau sulap yang aneh sekali sehingga orang seperti dia, yang telah mempelajari ilmu sihir dari Pek Mau San-jin dapat tertipu!

“Locianpwe, maafkan aku. Aku tidak ingin berkelahi dengan Locianpwe,” katanya merendah sambil menjura.

“Heh-heh, aku tidak peduli engkau ingin atau tidak. akan tetapi engkau telah memperlihatkan kepandaian membunuh harimau yang tidak berdosa kepadaku, maka sebagai hukumannya, engkau harus melawanku, hendak kulihat sampai dimana hebatnya kepandaianmu. Nah, bersiaplah engkau!”

Kembali kakek itu menerjang seperti tadi, dengan gerakan ngawur dan tidak menurut aturan ilmu silat ini maka amat sukar bagi Hay Hay untuk mengenal atau menduga gerakan-gerakannya. Kembali Hay Hay segera terdesak hebat dan diam-diam dia merasa penasaran sekali. Betapapun lihainya, kakek ini hanyalah seorang manusia biasa dan dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia harus membela diri dan membalas serangan kakek ini dengan ilmu-ilmu tinggi yang pernah dipelajarinya.

“Baiklah, kalau engkau memaksa, aku harus membela diri!” teriaknya dan diapun segera membalas serangan kakek itu dengan serangan kilat, kakinya bergerak dengan Jiau-pou-poun-soan, ilmu langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama dan kedua tangannya mengirim serangan bertubi-tubi, tamparan yang amat dahsyat, totokan-totokan yang menggunakan satu jari, dua jari, bahkan tiga jari, mengancam jalah darah terpenting dari seluruh tubuh lawan!!

Hebat bukan main serangkaian serangannya itu sehingga berkali-kali kakek itu berloncatan mengelak sambil memuji-muji.

“Wah, hebat kau! Heii, bukankah ini Jiau-poa-poan-soan? Wah, agaknya engkau mewarisi ilmu dari See-thian Lama, manusia dari Go-bi-san itu, ya? Ha-ha-ha, keluarkan semua!”

Hay Hay makin heran dan terkejut, yakin bahwa tentu kakek ini seorang yang memiliki kedudukan tinggi walaupun nampaknya terlantar dan gila, buktinya mengenal ilmu dari suhunya yang kedudukannya sudah tinggi sebagai seorang diantara Delapan Dewa.

Setelah lebih dari tiga puluh jurus semua serangannya gagal karena agaknya lawan mengenal ilmu silatnya, Hay Hay merobah gerakannya dan kini dia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang yang amat dahsyat, ciptaan Ciu-sian Sin-kai yang khusus untuk dirinya.

Begitu dia mainkan ilmu silat yang membuat daun-daun pohon disekeliling tempat itu banyak yang rontok oleh sambaran angin pukulannya, kakek itu kembali berseru kaget berkali-kali sambil terus mengelak dan kadang-kadang menangkis.

“Wah-wah, engkau Si Jembel Ciu-sian Sin-kai kalau begini! Bocah ini sungguh beruntung, mewarisi pula ilmu dari Si Jembel dari Delapan Dewa itu!”

Akan tetapi, seperti tadi, dia dapat menghindarkan semua serangan Hay Hay. Diam-diam pemuda ini makin kagum dan terpaksa dia mencabut sulingnya, sebatang suling dari kayu seperti milik Ciu-sian Sin-kai. Suling ini hanya tiga kaki panjangnya, dapat dipakai sebagai alat musik dan dapat pula dimainkan seperti pedang. Dengan senjata ini, kembali dia menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Kakek itu kembali menghadapi semua serangan Hay Hay dengan elakan-elakan dan tangkisan, sambil memuji-muji dan tiba-tiba membentak,

“Cukup!”

Tiba-tiba tubuh Hay Hay terpental seperti terbawa angin badai yang amat kuat dan biarpun dia telah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, tidak urung dia terhuyung, akan tetapi tidak sampai jatuh.

“Bagus, engkau kuat pula menahan bentakan kilat itu!” kakek itu memuji dan kini sikapnya tidaklah seperti tadi, bukan sikap orang yang gendeng melainkan penuh wibawa.

Akan tetapi sikap seperti itu hanya sebentar saja karena begitu Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di depannya, dia sudah tertawa-tawa lagi dengan suara ketawa menyeramkan tidak normal!

“Heh-heh-ha-ha-ha, engkau orang muda kejam telah mempelajari banyak ilmu hebat, akan tetapi masih mentah! Dan orang mentah seperti engaku berani memamerkan kepandaian didepan Song Lojin (Kakek Song)? Ha-ha-ha!”

Hay Hay mengingat-ingat, akan tetapi belum pernah dia mendengar akan nama Song Lojin diantara tokoh-tokoh persilatan, bahkan ketiga orang gurunya belum pernah ada yang bercerita tentang seorang tokoh tua bernama Kakek Song. Dia merasa yakin bahwa tingkat kakek ini tidak di sebelah bawah tingkat kedua orang gurunya yang merupakan dua orang tokoh Delapan Dewa, maka diapun cepat memberi hormat sambil berlutut dan berkata,

“Locianpwe, saya yang bodoh bernama Hay Hay mohon petunjuk dari Locianpwe yang mulia.”

“Siapa yang mulia? Ha-ha, perangkap kehormatan dan rayuan tidak akan menjebakku karena aku tidak pernah membutuhkannya.” Dia terkekeh. “Akan tetapi aku suka melihat bakatmu, engkau berbakat dan semuda ini sudah memiliki ilmu silat dan sihir yang jarang dimiliki orang lain. Eh, namamu Hay Hay, siapa shemu?”

“Maaf, Locianpwe, saya membenci ayah saya yang amat jahat, maka saya tidak mau mempergunakan nama keturunannya. Nama saya Hay Hay titik, tanpa she.”

“Wah-wah.... ha-ha-ha, engkaupun tidak mau terikat, akan tetapi itu timbul karena benci. Nah, Hay Hay, bagaimana kalau engkau mematangkan ilmu-ilmu yang kau miliki?”

Tentu saja Hay Hay nerasa girang bukan main dan kembali dia memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah.

“Kalau Suhu berkenan menurunkan ilmu, teecu akan berterima kasih dan selamanya takkan melupakan budi Suhu.”

“Wah-wah, aku tidak butuh diingat, tidak mau menghutangkan budi. Akan tetapi engkau harus mentaati semua perintahku. Berani?”

“Teecu berani.”

“Selama berada di dekatku, engkau tidak boleh makan bangkai!”

“Teecu selamanya tidak pernah makan bangkai!” kata Hay Hay memprotes.

“Huh, siapa bilang? Kalau engkau makan daging bukankah bangkai yang kau makan itu? Daging binatang yang sudah mati, apakah itu bukan bangkai?”

Hay Hay tertegun dan tidak mau membantah.
“Baik, teecu akan mentaati semua perintah itu.”

“Latihan-latihannya berat sekali, kalau engkau tidak kuat dapat menjadi gila atau bahkan mati, dan engkau harus mentaati perintahku menjalankan latihan apa saja tanpa membantah. Sekali engkau membangkang, terpaksa aku akan membunuhmu karena engkau akan menjadi mahluk berbahaya. Sanggup?”

Hay Hay merasa ngeri. Jangan-jangan kakek ini menjadi gila karena latihan-latihan yang entah bagaimana. Akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang jantan dan gagah, tidak sudi menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut.

“Teecu sanggup.”

“Engkau tidak boleh meninggalkan sebelum kusuruh, dan kalau aku sudah menyuruh engkau pergi, engkau tidak boleh membantah, dimana saja dan kapan saja. Sanggup?”

“Sanggup, Suhu.”

“Nah, sekarang engkau harus melakukan latihan pertama. Ingat baik-baik kalimat ini dan hafalkan: Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada. Nah, coba hahafalkan!”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar