*

*

Ads

Minggu, 20 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 135

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Pek Han Siong, yang ketika kecilnya dianggap sebagai Sin Tong (Anak Ajaib) dan dijadikan perebutan karena oleh para Pendeta Lama di Tibet dia dicalonkan menjadi seorang Dalai Lama!

Seperti kita ketahui, Pek Han Siong yang meninggalkan perguruan, berhasil bertemu dengan keluarga Pek di Kong-goan. Ketika dia mendengar bahwa adik kandungnya, Pek Eng, meninggalkan rumah karena hendak mencari dia, juga sebagai pernyataan tidak suka karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song dari Kang-jiu-pang.

Setelah melakukan pengelidikan dan mencari-cari, akhirnya Han Siong berhasil menemukan jejak adiknya itu yang menuju ke selatan. Dia sudah minta keterangan yang selengkapnya tentang adiknya itu dari keluarganya, dan sudah mempunyai gambaran bahwa adiknya itu seorang gadis berusia kurang lebih tujuh belas tahun, bertubuh tinggi ramping dengan kaki panjang. Wajahnya hitam manis, matanya agak sipit dan hidungnya yang kecil mancung itu agak berjungkat ujungnya, bibirnya merah dan ada lesung pipit di sebelah kiri mulutnya.

Adiknya itu lincah jenaka, manja, pandai bicara, hatinya lembut dan suka mengenakan pakaian suku bangsa Yi, yaitu pakaian adat dan memakai topi sorban yang dihias bulu burung. Dari cirri-ciri inilah dia mendapatkan jejak adiknya yang menuju ke selatan.

Pada suatu hari tibalah dia di kota Kui-yang, di Propinsi Kui-couw. Dia mengharapkan untuk dapat memperoleh berita tentang adiknya di kota ini. Hari telah siang ketika dia memasuki kota itu dan karena sejak kemarin malam dia belum makan apa-apa dan perutnya terasa lapar, dia lalu masuk ke sebuah rumah makan ketika kebetulan lewat di depannya.

Tidak ada pelayan yang menyambutnya, akan tetapi Han Siong tidak peduli, dan diapun masuk ke sebuah ruangan rumah makan yang sudah setengahnya diisi tamu. Tidak kurang dari tiga meja penuh tamu, setiap meja delapan orang dan sikap mereka itu kasar, dengan bercanda mereka makan minum, bicara keras dan tertawa bergelak.

Han Siong memillih meja kosong di sudut dan setelah duduk, barulah seorang pelayan menghampirinya. Pelayan ini sudah tua, dengan tubuh kurus dan muka membayangkan ketakutan, kain lap di pundak, dia menghampiri Han Siong dan terbongkok-bongkok, berkata dengan suara setengah berbisik.

“Kongcu, rumah makan kami sedang dipakai pesta, kalau Kongcu ingin makan, saya sarankan sebaiknya Kongcu pergi ke rumah makan lain di ujung jalan ini.”

Han Siong mengerutkan alisnya memandang pelayan itu. Baginya tidak menjadi persoalan kalau restoran ini tidak menerima tamu, akan tetapi dia melihat betapa wajah itu membayangkan ketakutan dan mata pelayan itu melirik-lirik ke arah tiga buah meja penuh tamu itu. Dia dapat menduga bahwa tentu pelayan ini tidak berani menerima tamu baru karena takut kepada orang-orang kasar yang sedang berpesta pora itu.

“Akan tetapi, Paman, kalau engkau menerima mereka itu sebagai tamu, kenapa hendak menolak kehadiranku?”

“Sama sekali tidak menolak, Kongcu, hanya saran… ah, sudahlah, Kongcu hendak memesan apakah?”

“Nasi, tiga macam masak sayur, tidak pakai daging atau kalau pakai juga, sedikit saja. Aku lebih suka makan sayur daripada daging. Dan air teh.”

“Arak?” tanya pelayan itu yang memandang heran.

Han Siong menggeleng kepalanya. Dia lama hidup di dalam kuil dan karena itu dia tidak doyan arak dan tidak begitu suka makan daging. Pelayan itu meninggalkan Han Siong sambil menggeleng kepala dan mengomel perlahan.

Sementara itu, munculnya Han Siong disitu menarik perhatian beberapa orang yang berpesta pora. Mereka adalah jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul kota Kui-yang dan sekitarnya.

Pada siang hari itu, seorang kepala jagoan she Ciok yang bertempat tinggal di Kui-yang, amat terkenal sebagai seorang jagoan yang lihai, sedang mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke empat puluh.

Pesta diadakan di rumah makan itu dan dia mengundang teman-temannya, dari dalam dan luar kota sehingga dua puluh orang lebih tukang pukul dan jagoan berkumpul disitu dan berpesta pora. Melihat mereka itu, tak seorangpun berani memasuki rumah makan.

Para tamu yang datang begitu melihat mereka, segera keluar lagi dan tidak berani makan di situ. Hal ini diketahui oleh mereka dan merekapun menjadi bangga. Akan tetapi, kemudian muncul seorang pemuda sederhana yang berani masuk ke rumah makan itu bahkan tidak menghiraukan anjuran pelayan agar pergi makan ke lain restoran saja.






Keberanian pemuda ini membuat beberapa orang tamu merasa tidak senang dan menganggap bahwa pemuda itu tidak memandang kepada mereka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa pemuda itu hanya memesan nasi, sayur tanpa daging dan air teh, membuat mereka memandang rendah dan menganggap pemuda ini tentu seorang pendatang dari luar kota yang miskin dan tidak mengenal mereka.

Diantara mereka yang merasa tidak senang dengan kehadiran Han Siong, terdapat dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar dan melihat otot-otot melingkar-lingkar pada lengan dan leher mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat. Mereka ini bernama Giam Hok dan Giam Kui, pembantu-pembantu yang dapat di andalkan dari kepala jagoan Ciok.

Setelah kakak beradik ini saling berbisik sambil tersenyum-senyum, mereka lalu menghampiri meja Han Siong. Pelayan yang datang menghidangkan masakan dan air teh yang dipesan Han Siong, ketika melihat mereka datang, cepat-cepat pergi meninggalkan meja Han Siong dengan muka pucat.

Tentu saja Han Siong tahu akan sikap dua orang yang kini melangkah menghampirinya dengan lagak sombong itu. Diapun sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga untuk membela diri, namun pada lahirnya, dia bersikap biasa saja, bahkan pura-pura tidak melihat mereka dan mulai makan nasi dengan sayurnya.

Kini kakak beradik itu sudah tiba di meja Han Siong dan dengan sikap congkak sekali mereka mengangkat kaki kanan dan diletakkan kaki itu diatas kursi di dekat meja Han Siong. Mereka tertawa-tawa dan kini semua tamu yang sedang berpesta pora itu memandang sambil tertawa, mengharapkan pertunjukan yang lucu dan menggembirakan. Perlakuan kasar dan sewenang-wenang terhadap orang lain bagi mereka merupakan makanan sehari-hari dan melihat orang lain menderita oleh perlakuan mereka merupakan suatu kegembiraan.

Melihat ulah kedua orang pembantunya, kepala jagoan Ciok hanya tersenyum saja sambil minum arak lagi yang sudah terlalu banyak memasuki perutnya yang gendut.

“Heii, lihat anak dusun ini! Makanannya seperti makanan kambing! Sayur-sayuran melulu!” kata Giam Hok yang hidungnya pesek.

“Ha-ha-ha, lihat minumnya juga air teh. Eh, kambing, engkau tentu suka sekali kalau disiram air dingin seperti kambing kehujanan, ha-ha!” kata pula Giam Kui yang pergi ke sudut dimana terdapat seember besar terisi air.

Air ini disediakan disitu untuk mencuci tangan para tamu dan kini Giam Kui mengangkat ember itu. Melihat ulah adiknya, Giam Hok yang tahu apa maksudnya, sambil tertawa-tawa lalu membantu adiknya mengangkat ember besar berisi air kotor itu.

Han Siong masih makan, akan tetapi kini dia memandang kepada dua orang kakak beradik yang menggotong ember kayu berisi air itu, sikapnya tetap tenang akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan amat berpengaruh dan kuat sekali.

Giam Hok dan Giam Kui mengangkat ember besar itu sambil tertawa-tawa, melangkah maju dan kemudian dengan pengerahan tenaga, mereka menggerakkan ember itu dan semua isinya mengguyur ke arah meja… kepala jagoan Ciok!

Tentu saja, orang-orang yang tadinya menonton sambil tertawa-tawa, seketika menjadi geger dan menyumpah-nyumpah. Air kotor dari bak itu bukan hanya menyiram semua hidangan yang berada di atas meja pertama itu, akan tetapi juga mengguyur muka dan pakaian sebagian dari mereka! Semua orang berloncatan dibarengi makian-makian dan Ciok sendiri lalu meloncat bangkit dengan pakaian agak basah dan diapun memaki.

“Apakah kalian sudah menjadi gila?” bentak Ciok dengan marah sekali.

Juga para jagoan lain menjadi marah, akan tetapi juga terheran-heran bagaimana dua orang kakak beradik itu berani melakukan kekurang ajaran seperti itu terhadap mereka. Dan dua orang itupun kini terbelalak dengan muka pucat ketika melihat kenyataan yang tidak masuk akal itu. Ternyata mereka telah menyiram isi air bak itu ke meja pimpinan mereka, padahal tadi sudah jelas bahwa mereka mengguyurkan air itu kepada bocah dusun yang sedang makan minum seorang diri di meja sudut itu. Mereka kini memutar tubuh memandang kepada pemuda itu yang masih enak-enak makan, seolah-olah tidak pernah tahu akan terjadinya peristiwa di meja lain itu!

“Tapi… tapi…. Ciok-toako, tadi kami mengguyur air itu ke meja bocah dusun itu!” kata Giam Hok sambil menudingkan telunjuknya ke arah Han Siong.

Juga Giam Kui merasa heran dan juga ngeri membayangkan akibat perbuatan dia dan kakaknya. Dengan geram dia lalu melangkah menghampiri Han Siong dan melihat ini, Giam Hok juga cepat melangkah lebar menghampiri Han Siong.

“Bocah dusun ini yang membikin gara-gara, kita harus menghajarnya sampai mampus!” kata Giam Kui.

“Benar, dia harus mempertanggung jawabkan apa yang telah terjadi!” kata pula Giam Hok.

Orang she Ciok yang tadinya marah-marah, kini memandang dengan heran. Diapun tidak percaya bahwa dua orang kakak beradik yang menjadi pembantu-pembantunya itu sedemikian nekatnya untuk melakukan penghinaan kepadanya dan kepada teman-teman lain, menyiramkan seember air kotor kepada mereka seperti itu. Tentu ada apa-apa yang aneh dalam hal ini, pikirnya.

Maka, seperti yang lain, diapun kini memandang ke arah dua orang kakak beradik yang menghampiri pemuda itu dengan sikap mengancam dan pandang mata beringas sekali. Tentu pemuda dusun itu akan mereka hajar sampai mati, pikir mereka.

Akan tetapi agaknya pemuda itu tidak peduli, melanjutkan makan, hanya menoleh ke arah mereka berdua sejenak. Dan terjadilah keanehan ke dua yang oleh para jagoan itu dianggap tidak masuk akal. Giam Hok dan Giam Kui mulai menerjang dan memukul, akan tetapi sama sekali bukan kepada pemuda itu, melainkan saling menyerang sendiri! Kakak beradik itu berkelahi mati-matian, saling gebuk dan saling tendang.

“Keparat, kuhancurkan kepalamu!” bentak Giam Hok dan dia menjotos ke arah kepala Giam Kui yang cepat mengelak, akan tetapi tetap saja menyerempet pipinya. Dia terpelantinig dan pipinya bengkak. Marahlah Giam Kui.

“Jahanam, kupecahkan dadamu!”

Dan diapun balas menonjok ke arah dada kakaknya sendiri. Giam Hok menangkis, akan tetapi sebuah tendangan adiknya mengenai perutnya yang membuat dia terjungkal memegangi perut yang mendadak terasa mulas itu. Dia marah dan kembali mereka saling serang, saling pukul dan saling tendang. Tentu saja kepala jagoan dan para tamunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Bagaimana mungkin ini? Pemuda itu masih enak-enak makan dan kakak beradik itu sudah saling hantam mati-matian.

“Giam Hok! Giam Kui! Apakah kalian sudah gila? Hentikan perkelahian itu!” bentak Ciok sambil meloncat dekat.

Dua orang kakak beradik itu kini sudah saling cengkeram dan saling jambak. Tiba-tiba mereka sadar dan masing-masing mengeluarkan seruan heran ketika mendapatkan kenyataan bahwa mereka telah saling serang!

“Kui-te (Adik Kui), kenapa engkau menyerang aku?” bentak Giam Hok.

“Tapi… tapi…. bagaimana ini bisa terjadi? Aku tadi memukuli petani busuk itu!”

“Aku juga! Apa yang telah terjadi….?”

Keduanya terbelalak dan kini menoleh kepada Han Siong yang sudah menyelesaikan makannya dan kini dengan sikap tenang bangkit dari duduknya menghadapi mereka.

Kepala jagoan Ciok adalah seorang yang berpengalaman di dunia persilatan. Kini dia mengerti apa yang telah terjadi. Pemuda yang tidak makan daging itu tentulah seorang ahli sihir! Seperti orang-orang Pek-lian-kauw!

“Celaka, kalian telah dipermainkan dengan sihir!” teriaknya.

Kedua orang kakak beradik itu marah sekali.
“Bunuh tukang sihir!” bentak mereka dan dua puluh lebih orang yang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul itu kini serentak maju mengepung dan menyerang Han Siong yang berdiri dengan tenang.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar